Tentang Ilmu


Allah ta’ala berfirman di dalam Al Qur`an surat Al ‘Alaq ayat 1 sampai 5
:


اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5

Artinya:(1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan. (2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3) Bacalah, dan Tuhanmu adalah Maha Pemurah. (4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (alat tulis) (5) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis". Maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. Al Mujaadilah: 11)

Sabda Rasulullah SAW: "Tiadalah suatu kebahagiaan bagi orang yang keluar dari rumahnya untuk menuntut ilmu, selain Allah SWT akan memudahkan jalannya ke surga."


Sabtu, 28 Desember 2013

QUO VADIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN HAM DI INDONESIA




JURNAL KAJIAN ILMIAH
Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
Volume 13, No. 3, Agustus 2013
ISSN 1410 - 9794 



LEMBAGA PENELITIAN UBHARA JAYA


QUO VADIS PENEGAKAN HUKUM TERHADAP  
PELANGGARAN HAM DI INDONESIA


oleh

Dr. H. Boy Nurdin, S.H., M.H.

Dosen Tetap Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Bhayangkara Jakarta
Jl. Dharmawangsa No. 1, Jakarta
E-mail: boynurdin_pascaubhara@yahoo.com


Abstract

In general in developing countries such as Latin America, Asia and Africa loaded with cases of human rights violations, some of which resolve these cases by establishing a commission truth and reconciliation. In Indonesia all cases of human rights abuses from the rezim Orde Baru until now still was not clear, no one actual perpetrator or actor intellectual is prosecuted and brought to justice to account for human rights violations that have occurred. It's good to compare with countries that have been able to resolve human rights violations, in order to obtain a solution how to resolve cases of human rights violations in Indonesia, and adapted to the life philosophy or ground norm as the Indonesian nation that is Pancasila.
                                                                                       
Keyword/kata kunci: pertanggungjawaban individual, Pancasila, Negara Hukum

A.    PENDAHULUAN

Hampir setiap negara yang baru merdeka atau mengakhiri “perang saudara” maupun negara-negara yang baru saja lepas dari cengkeraman rezim otoriter selama puluhan tahun seperti Indonesia ini, tentu dihadapkan pada masalah bagaimana menyikapi masa lalu yang belum lama berlalu (recent past), dan hampir dapat dipastikan salah satu masalah yang penting namun sangat sulit untuk dibenahi adalah masalah penegakan hukum. Lembaga-lembaga peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh masa lalu dan sisa-sisa rezim lama. Hukum menjadi tidak sama untuk setiap orang, kata-kata equality before the law” hanya menjadi angan-angan dan belum dapat diwujudkan secara nyata. 

Persoalan hukum tampaknya menjadi kabut hitam yang sulit ditembus dan nyaris tak tersentuh pembaruan. Lembaga peradilan sulit dibersihkan dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), mereka para aparatur hukum yang tadinya diharapkan dapat menegakkan kebenaran dan keadilan, justru ada yang berbuat sebaliknya. Bahkan, beberapa di antaranya ditemukan terlibat dalam jaringan mafia peradilan namun sangat sedikit sekali di antara oknum tersebut yang dihukum sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat luas.[1]  Adalah benar pendapat yang dikemukakan oleh John Locke (1632-1704), bahwa secara alamiah pada dasarnya manusia itu baik”. Ia menyebutkan “a state of peace, good will, mutual assistance and preservation”.[2]  John Locke menggambarkan bahwa uang bisa mengubah segala-galanya, sehingga para aparatur penegak hukum kita saat ini cenderung banyak di antaranya lebih mengedepankan materi untuk kepentingan pribadinya ataupun kelompoknya di atas kepentingan bangsa dan negara.[3]

Pada masa Orde Baru, penghormatan, pelaksanaan, penghargaan, penegakan dan pemajuan HAM cukup terabaikan selama puluhan tahun. Penghargaan dan penegakan HAM tidak bisa diidentikkan dengan pendirian Komnas HAM, karena penguasa saat itu terpaksa mendirikan dengan setengah hati. Meski Komnas HAM sudah bekerja keras membangun bangsa melalui peningkatan penegakan HAM, namun penguasa orde baru tetap banyak melanggar HAM. Bahkan salah satu pejuang HAM yang paling vokal di negeri ini bernama Munir bernasib tragis kehilangan nyawanya di usia yang relatif muda, karena dibunuh dengan cara memasukkan sejenis racun ke dalam makanannya di pesawat, ketika melakukan perjalanan ke Negeri Belanda dalam rangka untuk menuntut ilmu meneruskan studi S2 nya. Betapa kenyataan yang memilukan telah terjadi di negeri yang salah satu dasar dan falsafah hidupnya adalah kemanusiaan yang adil dan beradab.

Sudah 15 tahun berlalu sejak Soeharto lengser dari tampuk kekuasaan pada bulan Mei 1998, namun tak satupun kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan di masa orde baru dapat terselesaikan dengan baik  dengan hasil yang jelas. Sebagai contoh masih membekas dalam ingatan kita, ketika terjadi demo mahasiswa besar-besaran pada Mei 1998 di kawasan Semanggi (tragedi Semanggi I dan tragedi Semanggi II) yang menuntut turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan sebagai Presiden Republik Indonesia, yang kemudian berakhir dengan kerusuhan masal dan menelan korban, beberapa mahasiswa tewas menjadi korban penembakan oleh oknum aparat. Kasus yang kemudian dikenal dengan tragedi Semanggi (tragedi Semanggi I dan tragedi Semanggi II) tersebut hingga saat ini masih belum terselesaikan dengan baik, dalam pengertian penyelesaian yang dapat memberikan rasa keadilan, terutama dari sisi pihak keluarga korban sebagaimana harapan masyarakat luas.

Sementara di Jenewa Swiss, pada tanggal 10-11 Juli 2013, Komite HAM PBB telah melakukan sidang terhadap situasi hak sipil dan politik yang diterapkan di Indonesia. Sidang tersebut merupakan proses reguler yang dilakukan Komite HAM PBB terhadap negara-negara yang telah meratifikasi konvensi tentang HAM. Indonesia adalah termasuk salah satu di antara 167 negara yang telah meratifikasi konvensi internasional tentang hak sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights) pada tahun 2006. Ada hal penting yang harus dicatat dan diingat oleh kita sebagai bangsa Indonesia, bahwa pada sidang Komite HAM PBB yang dilangsungkan di Jenewa Swiss pada tanggal 10-11 Juli 2013 tersebut, telah menyimpulkan dan memberikan rekomendasi, yaitu “bahwa pemerintah Indonesia memiliki waktu satu tahun untuk menyelesaikan pelanggaran HAM pada masa lalu. Hal itu sesuai dan terkait dengan rekomendasi komite HAM PBB sebelumnya, yaitu “pemerintah Indonesia harus memperbaiki pelaksanaan dan politik dalam beragam issue.” Hal ini berarti pemerintah Indonesia harus segera dan mampu menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu dalam kurun waktu maksimal satu tahun, terhitung sejak 11 Juli 2013. Jika sampai dalam batas waktu satu tahun tersebut tidak terselesaikan dengan baik, maka pemerintah Indonesia patut malu di kancah pergaulan pemerintahan bangsa-bangsa lainnya di dunia internasional, karena akan terus disinggung dan dipertanyakan di sidang internasional.[4]

Selain kasus HAM berat tragedi Semanggi di atas, masih banyak lagi contoh-contoh kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan oleh pemerintah Indonesia, seperti antara lain Kasus Tanjung Priok (1984), Kasus Penyerangan Kantor PDI 27 Juli (1996), Penculikan Para Aktivis (1998), termasuk pelanggaran HAM di Aceh pada masa DOM tahun 1997-1998 dan kini telah berdamai dengan pihak GAM. Belum lagi yang terjadi baru-baru ini tepatnya pada tanggal 22 Maret 2013, yang sangat menyita perhatian masyarakat nasional maupun internasional yaitu kasus penembakkan di dalam Lapas Cebongan oleh oknum aparat militer Angkatan Darat Kopassus yang menewaskan empat orang sekaligus di dalam sel tahanan Lapas tersebut. Meskipun kasus ini sudah diperiksa dan diadili di Pengadilan Militer Yogyakarta, namun kasus ini sangat terindikasi melanggar HAM sebagaimana rekomendasi KOMNAS HAM yang diumumkan oleh ketuanya Siti Noor Laila dalam jumpa pers pada tanggal 19 Juni 2013. Dalam jumpa pers pada Rabu (19/06), Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila juga menyoroti adanya unsur pembiaran dari unsur pimpinan TNI dan kepolisian.[5]

Semua kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut sampai detik ini belum jelas penyelesaiannya, padahal pemerintah telah mengambil langkah-langkah yang dianggap cukup strategis, diawali dengan pembentukan Komnas HAM, diundangkannya UU No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan dikeluarkannya PERPU Nomor 1 tahun 1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Tap MPR Nomor XVII/MPR-RI/1998 tentang HAM. Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugaskan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat serta meratifikasi berbagai instrumen Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, pemberian perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dapat dilakukan melalui pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Pengadilan HAM serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Untuk melaksanakan amanat Ketetapan MPR-RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia tersebut, telah dibentuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pembentukan Undang-Undang tersebut merupakan perwujudan tanggung jawab bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Disamping hal tersebut, pembentukan Undang-Undang Hak Asasi Manusia juga mengandung suatu misi mengemban tanggung jawab moral dan hukum dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum lainnya yang mengatur Hak Asasi Manusia yang telah disahkan dan atau diterima oleh negara Republik Indonesia.

Bertitik tolak dari perkembangan hukum, baik ditinjau dari kepentingan nasional maupun dari kepentingan internasional, maka untuk menyelesaikan masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dan mengembalikan keamanan dan perdamaian di Indonesia perlu dibentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia yang merupakan pengadilan khusus pagi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Untuk merealisasikan terwujudnya Pengadilan Hak Asasi Manusia tersebut, dibentuklah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dasar pembentukan Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah sebagaimana tercantum dalam Ketentuan Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia diharapkan dapat melindungi Hak Asasi Manusia, baik perseorangan maupun masyarakat dan menjadi dasar dalam penegakan, kepastian hukum, keadilan dan perasaan aman baik bagi perseorangan maupun masyarakat, terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.

Adapun pertimbangan yang menjadi landasan pembentukan Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia ini adalah sebagai berikut:

1.    Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat merupakan “extra ordinary crime” dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil yang merupakan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

2.    Terhadap perkara-perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, diperlukan langkah-langkah penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan yang bersifat khusus yaitu:

a.    Diperlukan penyelidikan dengan membentuk Tim ad hoc., Penyidik ad hoc., Penuntut Umum ad hoc., dan Hakim ad hoc.

b.    Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

c.    Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan.

d.   Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluwarsa bagi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.

Mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berdasarkan hukum internasional dapat digunakan asas retroaktif, diberlakukan pasal mengenai kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral dan nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Dengan ungkapan lain, asas retroaktif dapat diberlakukan dalam rangka melindungi Hak Asasi Manusia itu sendiri berdasarkan Pasal 78 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mengatur pula tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc (Pengadilan HAM Ad Hoc.) untuk memeriksa dan memutus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang ini. Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden dan secara kelembagaan, Pengadilan HAM Ad Hoc ini berada di lingkungan Peradilan Umum. Pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa.

Melihat kenyataan ini semua, apakah masa lalu yang penuh dengan berbagai bentuk kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) itu, yang hingga detik ini tidak jelas penyelesaiannya perlu terus diingat, ataukah dilupakan begitu saja? Apa yang harus dilakukan untuk memulihkan dan meringankan penderitaan para korban? Apa yang harus diperbuat terhadap para aktor intelektual dan pelaku kejahatan HAM yang masih bebas berkeliaran bahkan mungkin bersenang-senang atau mungkin malah masih banyak para pengikutnya yang duduk di pemerintahan dan turut berkuasa mengatur negeri ini? Haruskah mereka segera diadili dan diseret ke meja hijau? Lalu apakah negeri ini mampu untuk menguak kebenaran yang masih tersembunyi, kemudian mengadili para pelaku kejahatan HAM dengan tanpa harus meminta bantuan dari pihak luar ?


B.     BEBERAPA POLA PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT

Lazimnya, dalam penyelesaian pelanggaran HAM terdapat empat pola penyelesaian yang dapat dipilih oleh suatu negara. Pilihan tersebut tidak saja tergantung pada jenis pelanggaran HAM nya berat atau tidak, tapi juga kondisi sosial, politik, dan budaya masyarakat negara bersangkutan. Pemilihan salah satu pola penyelesaian ini pun bisa berubah di sebuah negara berdasarkan pertimbangan tertentu. Adapun pola-pola tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Tidak melupakan dan tidak memaafkan (never to forget, never to forgive).
Artinya dengan pola ini para pelanggar HAM dibawa kedepan pengadilan. Seperti di Jerman misalnya, pasca hancurnya pemerintahan fasis dibawah Hitler, diterapkan pola “tidak melupakan, dan tidak memaafkan.” Dengan pola ini, di pimpin Amerika dan negara-negara sekutunya, digelar pengadilan untuk mengadili dan menghukum semua yang terlibat, terutama pimpinan angkatan perang yang diduga melakukan pelanggaran HAM. Hitler sendiri diduga tewas bunuh diri sebelum diajukan ke pengadilan.

2.      Tidak melupakan, tetapi kemudian memaafkan (never to forget but to forgive).  Artinya diadili dan kemudian diampuni. Pola ini dengan berusaha mengungkap pelaku yang sebenarnya di dalam proses penegakan hukum yang dilakukan. Berdasarkan seluruh alat bukti termasuk bukti saksi-saksi, maupun fakta-fakta yang terungkap dalam pemeriksaan persidangan di pengadilan, sudah jelas siapa pelaku yang sebenarnya yang harus bertanggungjawab dalam perbuatan pelanggaran ham tersebut barulah kemudian dimaafkan atau diampuni. Dengan demikian pihak keluarga korban maupun masyarakat luas sudah mengetahui pelaku yang sebenarnya.

3.      Melupakan, tetapi tidak pernah memaafkan (to forget but never to forgive).  Artinya, tidak ada pengadilan tetapi para pelaku akan dikutuk selamanya, termasuk dikucilkan dalam pergaulan baik di masyarakat maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pelaku dikutuk dan dikucilkan di sini diartikan sebagai orang yang tidak boleh lagi memasuki dan menduduki, baik jabatan-jabatan sosial yang ada di masyarakat maupun jabatan-jabatan publik sebagai penyelenggara negara ataupun aparatur pemerintahan.

4.      Melupakan dan memaafkan (to forget and to forgive).
Artinya tidak ada pengadilan dan dilupakan begitu saja. Adapun Spanyol memakai pola to forget and to forgive (melupakan dan memaafkan) dalam menangani kasus-kasus pelanggaran HAM selama masa Pemerintahan diktator Franco pada tahun 70-an. Dengan pola ini setidaknya Spanyol menghindari friksi antar pendukung dan penentang Franco sekaligus perpecahan dalam negeri. 


C.    DILEMA PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM BERAT DI INDONESIA

Melihat berbagai pola-pola penyelesaian kasus pelanggaran HAM, serta yang pernah diterapkan di beberapa negara sebagaimana uraian singkat di atas tadi, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memutuskan cara seperti apa yang sebaiknya kita pilih untuk menyelesaikan masalah kejahatan HAM masa lalu di Indonesia yang rumit ini. Pertama, harus didahului dengan upaya memahami konteks sejarah negara dan budaya masyarakat kita di masa lalu, yang masih terkait erat dalam segala bidang kehidupan yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan masa kini maupun masa-masa yang akan datang, termasuk dalam bidang penegakan hukum untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM. Kedua, adalah masalah waktu (timing) yang tepat, seperti di Afrika Selatan misalnya, di mana dibentuk sebuah komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) yang dipimpin oleh seorang uskup agung yang bernama Desmond Tutu. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah sebuah lembaga ekstra yudisial yang dibentuk khusus untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran HAM berat di Afrika Selatan pada waktu itu. Persoalannya sekarang adalah berguna atau tidakkah komisi seperti itu bagi Indonesia, apakah waktunya (timingnya) sudah tepat dengan situasi dan kondisi yang ada saat ini di Indonesia. Kemudian barulah dapat diputuskan pola seperti apa yang terbaik bagi Indonesia untuk menyelesaikan kasus kejahatan HAM ini. 

Jika kita melihat bagaimana negara-negara lain seperti contoh di atas menyelesaikan kasus pelanggaran HAM ini, di negara-negara tersebut pertikaian politik antara pemerintah dan kelompok-kelompok sipil  terutama yang bersenjata,  berjalan sedemikian rumitnya sehingga batas antara pelaku dan korbanpun menjadi kabur. Hal ini membuat proses peradilan sangat sulit dilakukan. Selain itu mereka terkadang berasal dari etnis yang sama, bahkan tak jarang dari keluarga yang sama tetapi saling berseberangan. Dengan menerapkan pola mengadili lalu memaafkan tentu dapat berlaku di negara-negara pelanggaran hamnya dilakukan oleh kerabat mereka sendiri, tapi tidak di Indonesia karena pelanggaran ham berat dilakukan oleh rezim yang berkuasa. Proses seperti yang dilakukan komisi kebenaran pun dengan tidak mengadili namun memaafkan sepertinya juga sulit untuk diterapkan di Indonesia karena dengan tidak mengadili pihak yang sersalah hanya akan mengingatkan kepada masa lalu, yang mungkin malah akan menimbulkan dan mendorong pertikaian yang baru. 

Memang bukan suatu hal yang mudah untuk mengadili para penjahat HAM melalui lembaga-lembaga peradilan, sebab umumnya di negara-negara berkembang hukum belumlah menjadi panglima, keadilan masih sulit untuk ditegakkan. Di negara-negara pasca-otoriter, posisi lembaga peradilan umumnya belum sepenuhnya otonom. Tarikan dari sisa-sisa rezim lama, apalagi bila mereka masih mempunyai pengaruh yang kuat di lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif; dan ini membuat lembaga-lembaga peradilan sangat lemah. Selain itu, lembaga-lembaga peradilan  ini memiliki prosedur-prosedur hukum tertentu, dan prosesnya sering memakan waktu yang relatif lama, bahkan tak jarang malah menemui jalan buntu.

Beberapa kendala yang dapat penulis gambarkan dan menjadi penyebab sulitnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia adalah sebagai berikut:

1.  Penegakan hukum yang masih lemah di Indonesia dan dalam waktu dekat sulit untuk membenahi lembaga-lembaga peradilan dari praktik-praktik KKN, terlebih lagi masih ada pengaruh  yang kuat dari sisa-sisa rezim terdahulu, maka adalah suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa sangat sulit bahkan cenderung menemui jalan buntu untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM melalui lembaga-lembaga peradilan yang ada.

2.  Situasi dan kondisi masyarakat Indonesia, terutama dalam hal pendidikan yang masih banyak tidak memenuhi standar, sehingga cenderung mudah terjebak dan gampang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mengembalikan rezim otoriter. Hal ini tidak memungkinkan Indonesia untuk mengambil langkah “conspiracy of silence” seperti yang dilakukan oleh Mozambik dan Korea, karena dengan kondisi masyarakat yang demikian akan menyebabkan terjadinya kesalahan yang sama di masa depan.

Jika meniru cara di Afrika Selatan, seperti yang dikemukakan oleh Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan Uskup Agung Desmond Tutu, bahwa tidak akan ada masa depan tanpa pemaafan. Namun yang menjadi masalah adalah siapa yang harus dimaafkan, kalau pihak yang bersalah atau bertanggungjawab tidak pernah diketahui oleh korban. Lalu apakah bangsa kita sudah siap untuk memaafkan dan tidak akan membicarakan masa lalu ini secara emosional dan rasa permusuhan di ruang-ruang publik. Mengenai keberadaan komisi kebenaran ini di Indonesia, maka hal-hal yang juga penting untuk diperhatikan adalah sebagai berikut:

1.    Dengan terakumulasinya data-data tentang kejahatan atas kemanusiaan tersebut, dan upaya mendorong para korban untuk menuturkan segala kejadian yang dialaminya, apakah ini tidak akan menambah rasa sakit yang pernah mereka alami. Apalagi jika tidak juga dapat diselesaikan dengan memberikan hukuman yang setimpal bagi pelakunya, maka ini hanya akan menjadi kenangan yang terus menerus hadir mengusik korban dan keluarganya serta generasi berikutnya.

2.    Proses-proses pencarian data, pencarian saksi-saksi korban dan yang terkait lainnya yang pastinya akan menjadi perhatian publik dan sorotan media massa nasional maupun internasional secara luas tentu akan berpengaruh kepada semua pihak yang terkait, apakah waktunya sudah tepat untuk ini semua, dan terutama apakah ini dapat menjamin ke arah sebuah penyelesaian yang diharapkan sesegera mungkin.

Sedangkan jika dengan mendiamkan dan berusaha melupakan serta mengaburkannya bagi generasi muda tentu akan menimbulkan masalah baru. Tidak tertutup kemungkinan bahwa peristiwa-peristiwa itu akan kembali berulang, karena generasi muda tidak mengenal sejarah masa lalu negeri mereka dengan benar, mereka tidak dapat mengambil pelajaran yang berharga dari kesalahan di masa lalu para pendahulunya. Apalagi di negara-negara berkembang pada umumnya tingkat pendidikan masih rendah, sehingga mudah dipolitisir oleh pihak-pihak yang ingin mengembalikan rezim otoriter. Memang menjadi dilema bagi kita, karena merupakan hal yang terpenting untuk mengungkapkan kebenaran sejarah masa lalu dan memastikan nasib anggota keluarga mereka yang hilang, namun di sisi lain pengungkapan ini membutuhkan kebesaran hati untuk menerima kenyataan mengenai kekejaman yang terjadi dan bukan tidak mungkin mengungkap kebenaran masa lalu pada masa kini hanyalah akan memperpanjang penderitaan yang telah dialami.
                  

D.    HAM DAN KONSEP NEGARA HUKUM 

 Konsep negara hukum, dimana hukum dijadikan panglima sebenarnya dapat saja terwujud jika tujuan hukum tidak hanya mengedepankan kepastian hukum (certainty). Hukum yang baik akan diterapkan dengan mengedepankan keadilan dan kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya masyarakat. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu, tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin), maka diupayakan agar kebahagiaan itu setidak-tidaknya dapat dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut (the greatest happiness for the greatest number of people[6]).

Tujuan hukum adalah untuk ketertiban masyarakat, disamping untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada sebanyak-banyaknya manusia. Aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum adalah utilitarianisme atau sering disebut singkat dengan utilisme. Tokoh-tokoh pelopor utilitarianisme yang paling utama dan sangat dikenal luas adalah Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan Rudolf von Jhering. Pandangan Bentham sebenarnya beranjak dari perhatiannya yang besar terhadap individu. Ia menginginkan agar hukum pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu, bukan langsung ke masyarakat secara keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham tidak menyangkal bahwa di samping kepentingan individu, kepentingan masyarakatpun perlu diperhatikan. Agar tidak terjadi benturan, kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan sebesar-besarnya itu perlu dibatasi. Jika tidak, akan terjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain)[7], sebagaimana yang dikatakan oleh Thomas Hobbes (1588-1679).

Untuk menyeimbangkan antara kepentingan individu dan masyarakat, Bentham menyarankan agar ada “simpati” dari tiap-tiap individu. Pemidanaan, menurut Bentham harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan betapapun kerasnya, dan pemidanaan itu hanya dapat diterima apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar lagi, karenanya penegakan hukum yang harus dilakukan dalam menyelesaikan kasus hukum pelanggaran HAM haruslah mengedepankan rasa keadilan (justice) yang utama dan harus diprioritaskan, sehingga penegakan hukum tersebut dirasakan manfaatnya dan akhirnya dapat memberikan rasa kebahagiaan kepada masyarakat sebanyak-banyaknya, dalam artian baik pihak keluarga korban, pihak pelaku maupun keluarganya, serta pihak-pihak terkait lainnya maupun pihak masyarakat luas. Inilah barangkali yang harus dilakukan oleh aparatur penegak hukum kita, baik polisi, jaksa, polisi militer, para hakim termasuk hakim peradilan militer dalam melakukan due process of law dalam rangka mengungkapkan dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Indonesia.


E.     HAM UNIVERSAL DAN HAM DALAM MUATAN KONSTITUSI INDONESIA

Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Lebih spesifik lagi dikatakan di dalam Pasal 1 (ayat 1) Undang Undang No. 39 Th. 1999 tentang HAM. Menurut sejarahnya, asal mula hak asasi manusia itu berasal dari Eropa Barat, tepatnya Inggris. Tonggak pertama kemenangan hak asasi manusia pada tahun 1215 ditandai dengan lahirnya Magna Charta[8], yang ditandatangani oleh Raja John Lancblanck. Piagam Magna Charta inilah yang dianggap sebagai simbol dimulainya perjalanan dan perjuangan tentang HAM. Perkembangan berikutnya adalah Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis (1789). Dua revolusi abad ke-18 ini besar sekali pengaruhnya pada perkembangan hak asasi manusia. Revolusi Amerika menuntut adanya hak bagi setiap orang untuk hidup merdeka, sedangkan Revolusi Perancis bertujuan membebaskan warga Negara Perancis dari kekangan kekuasaan mutlak Raja Louis XVI.

Di abad ke-20, berkenaan dengan hak asasi ini, PBB telah mengeluarkan pernyataan bersama yang disebut Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948. Apa yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights PBB sebenarnya telah dimuat dengan baik dalam rumusan Pembukaan UUD 1945, dan telah diatur secara eksplisit di dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Kalau dilihat dari sejarah panjang praktik ketatanegaraan Indonesia, muatan HAM di dalam konstitusi negara Republik Indonesia sejak merdeka 17 Agustus 1945 hingga saat ini, di mana negara Indonesia telah beberapa kali mengganti dan mengubah konstitusi sebagai hukum yang paling dasar dari sebuah negara, sekurang-kurangnya kita telah pernah menggunakan konstitusi RIS (UUD Republik Indonesia Sementara) pada tanggal 27 Desember 1950 yang hanya berlaku sekitar delapan bulan, kemudian Indonesia menggunakan UUD Sementara 1950 yang berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950 sebelum kembali kepada UUD 1945 sejak dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dan UUD 1945 saat ini sudah sempat diamandemen sebanyak empat kali.

Jika kita telaah secara teliti dan kritis, dari beberapa konstitusi atau UUD yang kita gunakan tersebut di atas, muatan HAM di dalam konstitusi RIS dapat dikatakan memberikan penghormatan dan semangat yang lebih tinggi terhadap nilai-nilai HAM. Hal ini dapat penulis katakan demikian karena beberapa alasan sebagai berikut:

1.    Di dalam konstitusi RIS butir-butir HAM disebut secara eksplisit, cakupannya jauh lebih luas dibanding UUD  45 atau konstitusi yang kita gunakan saat ini.

2.    Di dalam konstitusi RIS butir-butir HAM tersebut ditempatkan di bagian Bab V mendahului bagian-bagian yang mengatur lembaga-lembaga negara berikut  kewenangannya, ini dapat diartikan sebagai bahwa konstitusi RIS mengusung semangat menempatkan dimensi HAM yang jauh lebih tinggi daripada kekuasaan negara.

Selain itu di dalam konstitusi RIS juga mengatur secara eksplisit mengenai HAM pribadi secara jelas dan tegas, hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 7-14, Pasal 18, 19 dan 21. Demikian juga halnya dengan HAM keluarga dapat dilihat dengan jelas pada Pasal 37, di mana keluarga berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara. Salah seorang tokoh Indonesia yang terkenal pada masa itu, Mr. M. Yamin mengatakan: “Konstitusi RIS dan UUD 50 adalah satu-satunya dari sekian banyak konstitusi di dunia yang berhasil mengadopsi universal declaration of human rights.”

Selanjutnya, bahkan sila-sila dalam Pancasila yang menjadi dasar negara kitapun secara keseluruhan mengandung penghormatan terhadap hak asasi manusia, yaitu:

a.    Sila pertama, mengandung ajaran toleransi beragama untuk kepentingan keharmonisan dalam negara dan perdamaian dunia.

b.    Sila kedua, adalah ekspresi UUD 1945 untuk menyatakan hak asasi manusia sekaligus mengandung aspek-aspek hubungan manusia dalam masyarakat dan negara, berdasarkan moralitas yang adil dan beradab.

c.    Sila ketiga, meletakkan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan diri dan golongan. Kebanggaan nasional dan tanah air tumbuh dalam rangka tata dunia yang berdasarkan kebebasan, perdamaian dunia, dan keadilan sosial.

d.   Sila keempat menyatakan demokrasi tidak dalam arti formal saja melainkan juga dalam artian material. Ini berarti demokrasi yang mengandung kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dengan moralitas yang adil dan kemanusiaan yang beradab, dan ditujukan ke arah keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia. Ini adalah demokrasi yang diartikan sesuai dengan nilai-nilai tradisional dan sosial Indonesia sendiri, bukan semata-mata suara mayoritas ideal pengambil keputusan.

e.    Sila kelima, sangat dekat hubungannya dengan ajaran hak asasi manusia. Keadilan sosial disini berlaku untuk hubungan manusia dalam masyarakat dan mengandung prinsip-prinsip dasar untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, material dan spritual. Semua bentuk eksploitasi manusia dilarang.


F.       HAM DALAM INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

Terkait nilai-nilai HAM universal, di Roma sebanyak 125 negara pada tanggal 17 Juli 1998 telah berhasil menandatangani sebuah traktat yang kemudian terkenal dengan Statuta Roma, yang bertujuan membentuk International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional (MPI), dan efektif berlaku pada 1 Juli 2002. Prinsip-prinsip penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat sebagaimana diadopsi Indonesia melalui Undang-undang tersebut di atas dari Statuta Roma ICC, adalah “bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah merupakan perbuatan individual dan bukan terkait atau tidak serta merta merupakan perbuatan suatu negara”. Konsekuensi yuridis dari prinsip tersebut adalah menuntut pertanggungjawaban individual (individual criminal responsibility - Pasal 25), bukan pertanggungjawaban negara atau state - responsibility; kecuali hanya satu pertanggungjawaban yang diwajibkan kepada negara terkait ialah tidak memberikan perlindungan terhadap pelakunya (no safe haven principle) dan justru sebaliknya harus membantu/mendukung upaya untuk menemukan kebenaran, melalui jalur pengadilan atau jalur rekonsiliasi.

Statuta International Criminal Court (ICC) telah dijadikan acuan oleh PBB dalam menuntut dan mengadili pelanggar kejahatan serius yang mengundang keprihatinan masyarakat international yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi. Statuta MPI/ICC memiliki beberapa prinsip yang dapat dibedakan ke dalam dua golongan yaitu prinsip-prinsip yang bersifat spesifik dan universal[9]. Prinsip-prinsip yang bersifat universal yang merupakan prinsip umum hukum pidana (general principle of criminal law) meliputi: prinsip nullum crimen sine lege; prinsip nulla poena sine lege; prinsip non-retroaktif; prinsip individual criminal responsibility; prinsip pertanggungjawaban commanders/superior; prinsip non-kadaluarsa (non-applicability of statute of limitation); prinsip pengecualian dalam pertanggungjawaban (grounds for excluding criminal responsibility); dan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence).

Pengenalan prinsip-prinsip yang dianut oleh Statuta MPI/ICC tersebut sangat penting untuk mendalami lebih jauh bagaimana mekanisme kerja MPI/ICC dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya dalam menuntut dan mengadili para pelaku kejahatan tersebut. Di Indonesia dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dua dari empat kejahatan yang dianggap serius oleh PBB ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat, yaitu genosida dan kejahatan kemanusiaan. Pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional harus memenuhi prinsip admissibility (penerimaan) yang memuat dua kriteria yaitu:  

1. ketidakinginan (unwillingness) secara sungguh-sungguh untuk melaksanakan  yurisdiksi nasional, meskipun mempunyai kemampuan dan kesanggupan untuk melaksanakannya;

2.    ketidakmampuan (inability), di sini diartikan sebagai yang ingin bersungguh-sungguh untuk melaksanakan yurisdiksi nasional tersebut, tetapi sayangnya tidak mempunyai kesanggupan ataupun kemampuan untuk melaksanakannya.

Prinsip ini menegaskan bahwa yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional hanya dapat menggantikan yurisdiksi pengadilan nasional, jika pengadilan nasional telah menunjukkan ketidakmampuan atau ketidakinginan untuk menuntut dan mengadili kejahatan serius yang terjadi di negaranya.



G.      BAGAN KERANGKA PEMIKIRAN/LANDASAN TEORI SOLUSI PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT DI INDONESIA






H.    KESIMPULAN & SARAN

1.      Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dari latar belakang dan beberapa contoh penyelesaian kasus-kasus di negara-negara berkembang lainnya, mengkaji teori-teori yang dapat dijadikan landasan berpikir, sampai kepada mempertimbangkan faktor-faktor realitas struktur masyarakat Indonesia, maka penulis dapat memberikan gambaran-gambaran mengenai penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat di Indonesia sebagai berikut:

a.       Melihat beragam pengalaman negara-negara lain, maka solusi terbaik adalah yang sesuai dengan konteks sejarah negara yang bersangkutan. Penanganan di suatu negara belum tentu dapat diterapkan sama dan berhasil baik untuk negara yang lain. Di Indonesia, kasus-kasus pelanggaran HAM berat menemui banyak kendala untuk diselesaikan melalui lembaga-lembaga peradilan ataupun pembentukan komisi kebenaran, sehingga alternatif yang terbaik adalah dengan membawa kasus-kasus pelanggaran HAM berat ini ke Pengadilan Pidana International (International Criminal Court/ICC) ini dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

1)      Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sudah dijelaskan bahwa pelanggaran HAM berat menuntut pertanggungjawaban individual dan bukan pertanggungjawaban negara, sehingga para pelaku pelanggaran HAM berat ini dapat diajukan ke Pengadilan International untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya, dan diharapkan dengan demikian dapat mencegah terjadinya kejahatan yang lebih besar lagi (sesuai aliran Utiltarian yang dipelopori oleh Jeremy Bentham), serta menjadi contoh bagi generasi berikutnya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

2) Sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia Pancasila, maka penyelesaian ini telah cukup mengandung nilai-nilai dari Pancasila, yaitu:
      a) Meletakkan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan diri dan golongan (makna
          dari sila ke-tiga).
      b) Demokrasi yang mengandung kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dengan moralitas
          yang adil dan kemanusiaan yang beradab, adalah ditujukan ke arah tujuan keadilan sosial bagi
          seluruh rakyat Indonesia.
 
3)   Indonesia adalah negara hukum, maka tujuan yang utama yang harus dicapai adalah menempatkan hukum sebagai panglima, dan mewujudkan “Equality before the law”, ini berarti harus meletakkan kemanfaatan yang juga diartikan sebagai kebahagiaan (happiness) yang dapat dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat.


2.      SARAN-SARAN
a.       Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia ini yang telah begitu banyak terjadi seiring dengan perjalanan sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, haruslah diprioritaskan penyelesaiannya sesuai hukum (menurut koridor-koridor hukum yang ada). Hukum haruslah ditegakkan meskipun langit akan runtuh (fiat justitia roeat coelum). Dengan demikian hukum diharapkan akan dapat kita jadikan panglima dalam setiap penyelesaian kasus hukum.

b.  Untuk jangka panjang, pembangunan di bidang pendidikan (pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya), haruslah menjadi prioritas utama. Semaksimal mungkin diupayakan bagaimana caranya agar generasi bangsa ini ke depan menjadi generasi yang berilmu, cerdas, dan bermoral agar menjadi generasi yang dapat diandalkan bagi bangsa dan negara, sehingga semua persoalan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk persoalan HAM sebagaimana penulisan ini (baik dari sisi penghormatan dan pemajuan nilai-nilai HAM, maupun penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang sudah terjadi lebih dapat ditanggulangi dan dikondisikan secara lebih profesional dan proporsional lagi, baik dalam aspek penanganan dalam arti pencegahan maupun dalam penindakannya ke depan.



I.       DAFTAR PUSTAKA
·         Artikel dalam Koran
Abd. Rohim Ghazali, Manusia, Kekerasan dan Fungsi Agama. Opini. Kompas 04 November 2002, hlm. 6.
Harian Kompas, “Tragedi Semanggi: Pemerintah Punya Waktu Setahun”,  Politik & Hukum, hal. 3.

·         Buku
Boy Nurdin. 2012. Kedudukan dan Fungsi Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung: PT Alumni.
Darji Darmodiharjo & Shidarta. 1999. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Edisi Revisi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Romli Atmasasmita. 2004. Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II, Jakarta, PT Hecca Mitra Utama.


·         Artikel dari Internet
associatesmind.com/.../homo-homini-lupus-est-man-is-a-wolf-to........diunduh pada tanggal 20 September 2013.
BBC Indonesia, “Komnas HAM umumkan rekomendasi Cebongan”,  19 Juni 2013 - 18:15 WIB. Diunduh pada tanggal 11 Agustus 2013.






[1]   Boy Nurdin, Kedudukan dan Fungsi Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia (Bandung: PT 
      Alumni, 2012), hlm. 2.

[2]  Abd. Rohim Ghazali, Manusia, Kekerasan dan Fungsi Agama. Opini. Kompas 04 November 2002, 
      hlm. 6.

[3]  Boy Nurdin, Op. Cit., hlm. 9.

[4]  Harian Kompas, “Tragedi Semanggi: Pemerintah Punya Waktu Setahun”,  Politik & Hukum, hal. 3.

[5]  BBC Indonesia, “Komnas HAM umumkan rekomendasi Cebongan”,  19 Juni 2013 - 18:15 WIB
     Diunduh pada tanggal 11 Agustus 2013.

[6]  Darji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Edisi Revisi (Jakarta: PT Gramedia 
     Pustaka Utama, 1999) hlm. 116

[7]  associatesmind.com/.../homo-homini-lupus-est-man-is-a-wolf-to...diunduh pada tanggal 20 
     September 2013.

[8]  Darji Darmodiharjo, Op.Cit. hlm.166. Dalam Magna Charta itu dicantumkan hak-hak para bangsawan 
     yang harus dihormati raja Inggris. Di dalamnya disebutkan, bahwa raja tidak boleh bertindak sewenang-
     wenang, dan untuk tindakan-tindakan tertentu raja harus meminta persetujuan para bangsawan. 
     Walaupun semula hanya terbatas dalam hubungan antara raja dan bangsawan, namun kemudian terus 
     berkembang pesat.

[9]  Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II (Jakarta, PT Hecca Mitra 
     Utama, 2004) hlm. 11.
  Prinsip-prinsip yang bersifat spesifik ini meliputi 7 (tujuh) prinsip yaitu: 1. prinsip komplementaritas 
  (complementarity principle); 2. prinsip non-impunity (tanpa kekebalan); 3. prinsip admissibility; 4. 
  prinsip neb is in idem yang bersifat limitative; 5. prinsip kerjasama internasional (international 
  cooperation principle); 6. prinsip non-capital punishment; dan 7. prinsip imunitas Majelis Hakim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar