JURNAL
KAJIAN ILMIAH
Universitas
Bhayangkara Jakarta Raya
Volume
13, No. 3, Agustus 2013
ISSN
1410 - 9794 LEMBAGA PENELITIAN UBHARA JAYA |
In general in developing
countries such as Latin America, Asia and Africa loaded with
cases of human rights violations, some of which resolve these cases by
establishing a commission truth and reconciliation.
In Indonesia all
cases of human rights abuses from the rezim Orde Baru until now still was not
clear, no one actual perpetrator or actor intellectual
is prosecuted and brought to justice to account for human rights violations that have occurred. It's good to compare with countries that have been able to
resolve human rights violations, in order to obtain a solution
how to resolve cases
of human rights violations
in Indonesia, and adapted to the life philosophy or ground norm
as the Indonesian nation that is Pancasila.
1.
Pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat merupakan “extra ordinary
crime” dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun
internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun
immateriil yang merupakan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun
masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk
mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi
seluruh masyarakat Indonesia.
2.
Terhadap perkara-perkara
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, diperlukan langkah-langkah
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan yang bersifat khusus
yaitu:
a. Diperlukan penyelidikan dengan membentuk Tim ad hoc., Penyidik ad hoc., Penuntut Umum ad hoc., dan Hakim ad hoc.
b. Diperlukan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan
atau pengaduan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
c. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk
melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan.
d. Diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kadaluwarsa bagi
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.
Mengenai pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat
seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berdasarkan hukum
internasional dapat digunakan asas retroaktif, diberlakukan pasal mengenai
kewajiban untuk tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang
sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang
berbunyi: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral dan nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis”.
Dengan
ungkapan lain, asas retroaktif dapat diberlakukan dalam rangka melindungi Hak
Asasi Manusia itu sendiri berdasarkan Pasal 78 J ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 tersebut. Oleh karena itu Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mengatur pula
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc (Pengadilan HAM Ad Hoc.) untuk memeriksa
dan memutus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannya Undang-Undang ini. Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan
Presiden dan secara kelembagaan, Pengadilan HAM Ad Hoc ini berada di lingkungan
Peradilan Umum. Pelanggaran Hak Asasi Manusia sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa.
Melihat
kenyataan ini semua, apakah masa lalu yang penuh dengan berbagai bentuk
kejahatan atas kemanusiaan (crimes
against humanity) itu, yang hingga detik ini tidak jelas penyelesaiannya
perlu terus diingat, ataukah dilupakan begitu saja? Apa
yang harus dilakukan untuk memulihkan dan meringankan penderitaan para
korban? Apa yang harus diperbuat terhadap para aktor
intelektual dan pelaku kejahatan HAM yang masih bebas
berkeliaran bahkan mungkin bersenang-senang atau mungkin malah masih banyak para
pengikutnya yang duduk di pemerintahan dan turut
berkuasa mengatur negeri ini? Haruskah mereka segera diadili dan diseret ke meja
hijau? Lalu apakah negeri ini mampu untuk menguak kebenaran yang masih
tersembunyi, kemudian mengadili para pelaku kejahatan HAM dengan tanpa harus meminta bantuan dari pihak luar ?
Melihat
berbagai pola-pola penyelesaian kasus pelanggaran HAM, serta yang
pernah diterapkan di beberapa negara sebagaimana uraian singkat di atas tadi, ada beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan dalam memutuskan cara seperti apa yang sebaiknya kita pilih untuk menyelesaikan
masalah kejahatan HAM masa lalu di Indonesia yang rumit ini. Pertama, harus
didahului dengan
upaya memahami konteks sejarah negara dan
budaya masyarakat
kita di masa lalu, yang masih terkait erat dalam segala bidang kehidupan
yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan masa kini
maupun masa-masa yang akan datang, termasuk dalam bidang penegakan hukum untuk
menyelesaikan masalah pelanggaran HAM. Kedua, adalah masalah waktu (timing) yang
tepat,
seperti di Afrika Selatan misalnya, di mana dibentuk sebuah komisi kebenaran dan
rekonsiliasi (KKR) yang dipimpin oleh seorang uskup agung yang bernama Desmond
Tutu. Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah sebuah lembaga ekstra yudisial yang dibentuk
khusus untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran HAM berat di Afrika
Selatan pada waktu itu. Persoalannya sekarang adalah berguna atau tidakkah komisi
seperti itu bagi Indonesia, apakah waktunya (timingnya) sudah tepat dengan situasi dan
kondisi yang
ada saat ini di Indonesia. Kemudian barulah dapat diputuskan pola seperti apa yang
terbaik bagi Indonesia untuk
menyelesaikan kasus kejahatan HAM ini.
Jika
kita melihat bagaimana negara-negara lain seperti contoh di atas menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM ini, di negara-negara tersebut pertikaian politik antara
pemerintah dan kelompok-kelompok sipil
terutama yang bersenjata,
berjalan sedemikian rumitnya sehingga batas antara pelaku dan korbanpun
menjadi kabur. Hal ini membuat proses peradilan sangat sulit dilakukan. Selain
itu mereka terkadang berasal dari etnis yang sama, bahkan tak jarang dari
keluarga yang sama tetapi saling berseberangan. Dengan menerapkan pola
mengadili lalu memaafkan tentu dapat berlaku di negara-negara pelanggaran
hamnya dilakukan oleh kerabat mereka sendiri, tapi tidak di Indonesia
karena pelanggaran ham berat dilakukan oleh rezim yang berkuasa. Proses seperti
yang dilakukan komisi kebenaran pun dengan tidak mengadili namun memaafkan
sepertinya juga sulit untuk diterapkan di Indonesia karena dengan tidak
mengadili pihak yang sersalah hanya akan mengingatkan kepada masa lalu, yang mungkin
malah akan menimbulkan dan mendorong pertikaian yang baru.
Memang
bukan suatu hal yang mudah untuk mengadili para penjahat HAM melalui
lembaga-lembaga peradilan, sebab umumnya di negara-negara berkembang hukum
belumlah menjadi panglima, keadilan masih sulit untuk ditegakkan. Di
negara-negara pasca-otoriter, posisi lembaga peradilan umumnya belum sepenuhnya
otonom. Tarikan dari sisa-sisa rezim lama, apalagi bila mereka masih mempunyai
pengaruh yang kuat di lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif; dan ini membuat
lembaga-lembaga peradilan sangat lemah. Selain itu, lembaga-lembaga
peradilan ini memiliki prosedur-prosedur
hukum tertentu, dan prosesnya sering memakan waktu yang relatif lama, bahkan tak
jarang malah menemui jalan buntu.
Beberapa
kendala yang dapat penulis gambarkan dan menjadi penyebab sulitnya penyelesaian
kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.
Penegakan
hukum yang masih lemah di Indonesia dan dalam waktu dekat sulit untuk membenahi
lembaga-lembaga peradilan dari praktik-praktik KKN, terlebih lagi masih ada
pengaruh yang kuat dari sisa-sisa rezim
terdahulu, maka adalah suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa sangat sulit
bahkan cenderung menemui jalan buntu untuk mengadili para pelaku pelanggaran
HAM melalui lembaga-lembaga peradilan yang ada.
2. Situasi
dan kondisi masyarakat Indonesia, terutama dalam hal pendidikan yang masih
banyak tidak memenuhi standar, sehingga cenderung mudah terjebak dan gampang
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mengembalikan rezim otoriter.
Hal ini tidak memungkinkan Indonesia untuk mengambil langkah “conspiracy of silence” seperti yang
dilakukan oleh Mozambik dan Korea, karena dengan kondisi masyarakat yang demikian
akan menyebabkan terjadinya kesalahan yang sama di masa depan.
Jika
meniru cara di Afrika Selatan, seperti yang dikemukakan oleh Ketua Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan Uskup Agung Desmond Tutu, bahwa tidak
akan ada masa depan tanpa pemaafan. Namun yang menjadi masalah adalah siapa
yang harus dimaafkan, kalau pihak yang bersalah atau bertanggungjawab tidak
pernah diketahui oleh korban. Lalu apakah bangsa kita sudah siap untuk
memaafkan dan tidak akan membicarakan masa lalu ini secara emosional dan rasa
permusuhan di ruang-ruang publik. Mengenai keberadaan komisi kebenaran ini di Indonesia, maka
hal-hal yang juga penting untuk diperhatikan adalah sebagai berikut:
1.
Dengan
terakumulasinya data-data tentang kejahatan atas kemanusiaan tersebut, dan
upaya mendorong para korban untuk menuturkan segala kejadian yang dialaminya,
apakah ini tidak akan menambah rasa sakit yang pernah mereka alami. Apalagi
jika tidak juga dapat diselesaikan dengan memberikan hukuman yang setimpal bagi
pelakunya, maka ini hanya akan menjadi kenangan yang terus menerus hadir
mengusik korban dan keluarganya serta generasi berikutnya.
2.
Proses-proses
pencarian data, pencarian saksi-saksi korban dan yang terkait lainnya yang
pastinya akan menjadi perhatian publik dan sorotan media massa nasional maupun
internasional secara luas tentu akan berpengaruh kepada semua pihak yang
terkait, apakah waktunya sudah tepat untuk ini semua, dan terutama apakah ini
dapat
menjamin ke arah sebuah penyelesaian yang diharapkan
sesegera
mungkin.
Sedangkan
jika dengan mendiamkan dan berusaha melupakan serta mengaburkannya bagi
generasi muda tentu akan menimbulkan masalah baru. Tidak tertutup kemungkinan
bahwa peristiwa-peristiwa itu akan kembali berulang, karena generasi muda tidak
mengenal sejarah masa lalu negeri mereka dengan benar, mereka tidak dapat
mengambil pelajaran yang berharga dari kesalahan di masa lalu para
pendahulunya. Apalagi di negara-negara berkembang pada umumnya tingkat
pendidikan masih rendah, sehingga mudah dipolitisir oleh pihak-pihak yang ingin
mengembalikan rezim otoriter. Memang menjadi dilema bagi kita, karena merupakan
hal yang terpenting untuk mengungkapkan kebenaran sejarah masa lalu dan
memastikan nasib anggota keluarga mereka yang hilang, namun di sisi lain pengungkapan
ini membutuhkan kebesaran hati untuk menerima kenyataan mengenai kekejaman yang
terjadi dan bukan tidak mungkin mengungkap kebenaran masa lalu pada masa kini
hanyalah akan memperpanjang penderitaan yang telah dialami.
D.
HAM DAN KONSEP NEGARA HUKUM
Konsep negara hukum, dimana hukum dijadikan panglima
sebenarnya dapat saja terwujud jika tujuan hukum tidak hanya mengedepankan
kepastian hukum (certainty). Hukum
yang baik akan diterapkan dengan mengedepankan keadilan dan kebahagiaan bagi
sebanyak-banyaknya masyarakat. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh
setiap individu, tetapi jika tidak mungkin tercapai (dan pasti tidak mungkin),
maka diupayakan agar kebahagiaan itu setidak-tidaknya dapat dinikmati oleh
sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut (the greatest happiness for the greatest
number of people[6]).
Tujuan
hukum adalah untuk ketertiban masyarakat, disamping untuk memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya kepada sebanyak-banyaknya manusia. Aliran yang meletakkan
kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum adalah utilitarianisme atau sering
disebut singkat dengan utilisme.
Tokoh-tokoh pelopor utilitarianisme
yang paling utama dan sangat dikenal luas adalah Jeremy Bentham, John
Stuart Mill, dan Rudolf von Jhering. Pandangan Bentham sebenarnya beranjak dari
perhatiannya yang besar terhadap individu. Ia menginginkan agar hukum
pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu,
bukan langsung ke masyarakat secara keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham
tidak menyangkal bahwa di samping kepentingan individu, kepentingan
masyarakatpun perlu diperhatikan. Agar tidak terjadi benturan, kepentingan individu
dalam mengejar kebahagiaan sebesar-besarnya itu perlu dibatasi. Jika tidak, akan terjadi homo homini lupus (manusia menjadi serigala bagi manusia yang
lain)[7],
sebagaimana yang dikatakan oleh Thomas Hobbes (1588-1679).
Untuk
menyeimbangkan antara kepentingan
individu dan masyarakat, Bentham menyarankan agar ada “simpati” dari tiap-tiap
individu. Pemidanaan, menurut Bentham harus bersifat spesifik untuk tiap
kejahatan betapapun kerasnya, dan pemidanaan itu hanya dapat diterima apabila
ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar lagi, karenanya
penegakan hukum yang harus dilakukan dalam menyelesaikan kasus hukum
pelanggaran HAM haruslah mengedepankan rasa keadilan (justice) yang utama dan harus diprioritaskan, sehingga penegakan
hukum tersebut dirasakan manfaatnya dan akhirnya dapat memberikan rasa
kebahagiaan kepada masyarakat sebanyak-banyaknya, dalam artian baik pihak
keluarga korban, pihak pelaku maupun keluarganya, serta pihak-pihak terkait
lainnya maupun pihak masyarakat luas. Inilah barangkali yang harus dilakukan
oleh aparatur penegak hukum kita, baik polisi, jaksa, polisi militer, para hakim
termasuk hakim peradilan militer dalam melakukan due process of law dalam rangka mengungkapkan dan menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
E.
HAM UNIVERSAL DAN HAM DALAM MUATAN KONSTITUSI INDONESIA
Hak
asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Lebih spesifik lagi dikatakan
di dalam Pasal 1 (ayat 1) Undang Undang No. 39 Th. 1999 tentang HAM. Menurut sejarahnya,
asal mula hak asasi manusia itu berasal dari
Eropa Barat, tepatnya
Inggris. Tonggak pertama kemenangan hak asasi manusia pada tahun 1215 ditandai
dengan lahirnya Magna Charta[8],
yang ditandatangani oleh Raja John Lancblanck. Piagam Magna Charta inilah yang
dianggap sebagai simbol dimulainya perjalanan dan perjuangan tentang HAM. Perkembangan
berikutnya adalah Revolusi Amerika (1776) dan Revolusi Perancis
(1789). Dua revolusi abad ke-18 ini besar sekali pengaruhnya pada perkembangan
hak asasi manusia. Revolusi Amerika menuntut adanya hak bagi setiap orang untuk
hidup merdeka, sedangkan Revolusi Perancis bertujuan membebaskan warga Negara
Perancis dari kekangan kekuasaan mutlak Raja Louis XVI.
Di
abad ke-20, berkenaan dengan hak asasi ini, PBB telah mengeluarkan pernyataan
bersama yang disebut Universal
Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948. Apa yang
tercantum dalam Universal Declaration of
Human Rights PBB sebenarnya telah dimuat dengan baik dalam rumusan
Pembukaan UUD 1945, dan telah diatur secara eksplisit di dalam Pasal 28A
sampai dengan Pasal 28J.
Kalau dilihat dari sejarah panjang praktik ketatanegaraan Indonesia, muatan
HAM di dalam konstitusi negara Republik Indonesia sejak merdeka 17 Agustus 1945
hingga saat ini, di mana negara Indonesia telah beberapa kali mengganti dan
mengubah konstitusi sebagai hukum yang paling dasar dari sebuah negara, sekurang-kurangnya
kita telah pernah menggunakan konstitusi RIS (UUD Republik Indonesia Sementara)
pada tanggal 27 Desember 1950 yang hanya berlaku sekitar delapan bulan, kemudian
Indonesia menggunakan UUD Sementara 1950 yang berlaku pada tanggal 17 Agustus
1950 sebelum kembali kepada UUD 1945 sejak dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dan UUD
1945 saat ini sudah sempat diamandemen sebanyak empat kali.
Jika kita telaah secara teliti dan kritis, dari beberapa
konstitusi atau UUD yang kita gunakan tersebut di atas, muatan HAM di dalam
konstitusi RIS dapat dikatakan memberikan penghormatan dan semangat yang lebih
tinggi terhadap nilai-nilai HAM. Hal ini dapat penulis katakan demikian karena
beberapa alasan sebagai berikut:
1.
Di dalam konstitusi RIS butir-butir HAM disebut secara
eksplisit, cakupannya jauh lebih luas dibanding UUD 45 atau konstitusi yang kita gunakan saat ini.
2.
Di dalam konstitusi RIS butir-butir HAM tersebut
ditempatkan di bagian Bab V mendahului bagian-bagian yang mengatur
lembaga-lembaga negara berikut kewenangannya,
ini dapat diartikan sebagai bahwa konstitusi RIS mengusung semangat menempatkan
dimensi HAM yang jauh lebih tinggi daripada kekuasaan negara.
Selain itu di dalam konstitusi RIS juga mengatur secara
eksplisit mengenai HAM pribadi secara jelas dan tegas, hal ini dapat kita lihat
dalam Pasal 7-14, Pasal 18, 19 dan 21. Demikian juga halnya dengan HAM keluarga
dapat dilihat dengan jelas pada Pasal 37, di mana keluarga berhak atas
perlindungan oleh masyarakat dan negara. Salah seorang tokoh Indonesia yang
terkenal pada masa itu, Mr. M. Yamin mengatakan: “Konstitusi RIS dan UUD 50
adalah satu-satunya dari sekian banyak konstitusi di dunia yang berhasil
mengadopsi universal declaration of human
rights.”
Selanjutnya,
bahkan sila-sila dalam Pancasila yang menjadi dasar negara kitapun secara
keseluruhan mengandung penghormatan terhadap hak asasi manusia, yaitu:
a.
Sila
pertama, mengandung ajaran toleransi beragama untuk kepentingan keharmonisan
dalam negara dan perdamaian dunia.
b.
Sila
kedua, adalah ekspresi UUD 1945 untuk menyatakan hak asasi manusia sekaligus
mengandung aspek-aspek hubungan manusia dalam masyarakat dan negara,
berdasarkan moralitas yang adil dan beradab.
c.
Sila
ketiga, meletakkan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan diri dan
golongan. Kebanggaan nasional dan tanah air tumbuh dalam rangka tata dunia yang
berdasarkan kebebasan, perdamaian dunia, dan keadilan sosial.
d.
Sila
keempat menyatakan demokrasi tidak
dalam arti formal saja melainkan juga dalam artian material. Ini berarti
demokrasi yang mengandung kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dengan
moralitas yang adil dan kemanusiaan yang beradab, dan ditujukan ke arah
keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia. Ini adalah demokrasi yang
diartikan sesuai dengan nilai-nilai tradisional dan sosial Indonesia sendiri,
bukan semata-mata suara mayoritas ideal pengambil keputusan.
e.
Sila
kelima, sangat dekat hubungannya dengan ajaran hak asasi manusia. Keadilan
sosial disini berlaku untuk hubungan manusia dalam masyarakat dan mengandung
prinsip-prinsip dasar untuk mencapai masyarakat adil dan makmur, material dan
spritual. Semua bentuk eksploitasi manusia dilarang.
F.
HAM DALAM INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL
Terkait nilai-nilai HAM universal, di Roma sebanyak 125
negara pada tanggal 17 Juli 1998 telah berhasil menandatangani sebuah traktat yang
kemudian terkenal dengan Statuta Roma, yang bertujuan membentuk International Criminal Court (ICC) atau
Mahkamah Pidana Internasional (MPI), dan efektif berlaku pada 1 Juli 2002. Prinsip-prinsip
penyelesaian masalah pelanggaran HAM berat sebagaimana diadopsi
Indonesia melalui Undang-undang
tersebut di atas dari
Statuta Roma ICC,
adalah “bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat adalah merupakan perbuatan
individual dan bukan terkait atau tidak serta merta merupakan perbuatan suatu
negara”. Konsekuensi yuridis dari prinsip tersebut adalah menuntut
pertanggungjawaban individual (individual
criminal responsibility - Pasal 25), bukan pertanggungjawaban negara atau state - responsibility; kecuali hanya
satu pertanggungjawaban yang diwajibkan kepada negara terkait ialah tidak
memberikan perlindungan terhadap pelakunya (no
safe haven principle) dan justru sebaliknya harus membantu/mendukung upaya
untuk menemukan kebenaran, melalui jalur pengadilan atau jalur rekonsiliasi.
Statuta
International Criminal Court (ICC)
telah dijadikan acuan oleh PBB dalam menuntut dan mengadili pelanggar kejahatan
serius yang mengundang keprihatinan masyarakat international yaitu genosida,
kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi. Statuta MPI/ICC
memiliki beberapa prinsip yang dapat dibedakan ke dalam dua golongan yaitu
prinsip-prinsip yang bersifat spesifik dan universal[9].
Prinsip-prinsip yang bersifat universal yang merupakan prinsip umum hukum
pidana (general principle of criminal law)
meliputi: prinsip nullum crimen sine lege;
prinsip nulla poena sine lege;
prinsip non-retroaktif; prinsip individual
criminal responsibility; prinsip
pertanggungjawaban commanders/superior;
prinsip non-kadaluarsa (non-applicability
of statute of limitation); prinsip pengecualian dalam pertanggungjawaban (grounds for excluding criminal
responsibility); dan prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Pengenalan
prinsip-prinsip yang dianut oleh Statuta MPI/ICC tersebut sangat penting untuk
mendalami lebih jauh bagaimana mekanisme kerja MPI/ICC dalam melaksanakan
tugas, fungsi, dan wewenangnya dalam menuntut dan mengadili para pelaku
kejahatan tersebut. Di Indonesia dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, dua dari empat kejahatan yang dianggap serius oleh PBB
ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat, yaitu genosida dan kejahatan
kemanusiaan. Pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional harus
memenuhi prinsip admissibility
(penerimaan) yang memuat dua kriteria yaitu:
1. ketidakinginan
(unwillingness) secara
sungguh-sungguh untuk melaksanakan yurisdiksi nasional, meskipun
mempunyai kemampuan dan kesanggupan untuk melaksanakannya;
2.
ketidakmampuan
(inability), di sini
diartikan sebagai yang ingin bersungguh-sungguh untuk melaksanakan yurisdiksi
nasional tersebut, tetapi sayangnya tidak mempunyai kesanggupan ataupun
kemampuan
untuk melaksanakannya.
Prinsip
ini menegaskan bahwa yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional hanya dapat
menggantikan yurisdiksi pengadilan nasional, jika pengadilan nasional telah
menunjukkan ketidakmampuan atau ketidakinginan untuk menuntut dan mengadili
kejahatan serius yang terjadi di negaranya.
G.
BAGAN KERANGKA PEMIKIRAN/LANDASAN
TEORI SOLUSI
PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT DI INDONESIA
H.
KESIMPULAN & SARAN
1.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian-uraian di atas, dari latar belakang dan beberapa contoh penyelesaian
kasus-kasus di negara-negara berkembang lainnya, mengkaji teori-teori yang
dapat dijadikan landasan berpikir,
sampai kepada mempertimbangkan faktor-faktor realitas struktur masyarakat
Indonesia, maka penulis dapat memberikan gambaran-gambaran mengenai penyelesaian
masalah pelanggaran HAM berat di Indonesia sebagai berikut:
a.
Melihat
beragam pengalaman negara-negara lain, maka solusi
terbaik adalah
yang sesuai dengan konteks sejarah negara yang bersangkutan. Penanganan di
suatu negara belum tentu dapat diterapkan sama dan berhasil baik untuk negara
yang lain. Di Indonesia, kasus-kasus pelanggaran HAM berat menemui banyak
kendala untuk diselesaikan melalui lembaga-lembaga peradilan ataupun
pembentukan komisi kebenaran, sehingga alternatif yang terbaik adalah dengan
membawa kasus-kasus pelanggaran HAM berat ini ke Pengadilan Pidana International
(International Criminal Court/ICC) ini
dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
1)
Dalam
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sudah dijelaskan bahwa
pelanggaran HAM berat menuntut pertanggungjawaban individual dan bukan
pertanggungjawaban negara, sehingga para pelaku pelanggaran HAM berat ini dapat
diajukan ke Pengadilan International untuk mempertanggungjawabkan semua
perbuatannya, dan diharapkan dengan demikian dapat mencegah terjadinya
kejahatan yang lebih besar lagi (sesuai aliran
Utiltarian yang dipelopori oleh Jeremy Bentham), serta menjadi contoh bagi
generasi berikutnya agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
2) Sesuai
dengan falsafah bangsa Indonesia Pancasila, maka penyelesaian ini telah
cukup mengandung nilai-nilai dari Pancasila, yaitu:
a) Meletakkan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan diri dan golongan (makna
dari sila ke-tiga).
b) Demokrasi yang mengandung kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dengan moralitas
yang adil dan kemanusiaan yang beradab, adalah ditujukan ke arah tujuan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
3) Indonesia adalah negara hukum,
maka tujuan yang utama yang harus dicapai adalah menempatkan hukum sebagai
panglima, dan mewujudkan “Equality before
the law”, ini berarti harus meletakkan kemanfaatan yang juga diartikan
sebagai kebahagiaan (happiness) yang
dapat dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat.
2.
SARAN-SARAN
a.
Penyelesaian
kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia
ini yang telah begitu banyak terjadi seiring dengan perjalanan sejarah
kehidupan berbangsa dan bernegara, haruslah diprioritaskan penyelesaiannya
sesuai hukum (menurut koridor-koridor hukum yang ada). Hukum haruslah
ditegakkan meskipun langit akan runtuh (fiat
justitia roeat coelum). Dengan demikian hukum diharapkan akan dapat kita
jadikan panglima dalam setiap penyelesaian kasus hukum.
b. Untuk
jangka panjang, pembangunan di bidang pendidikan (pendidikan
dalam arti yang seluas-luasnya), haruslah menjadi prioritas utama. Semaksimal mungkin
diupayakan bagaimana caranya agar generasi bangsa ini ke depan menjadi generasi
yang berilmu, cerdas, dan bermoral agar menjadi generasi yang
dapat
diandalkan bagi bangsa dan negara,
sehingga semua persoalan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, termasuk persoalan HAM sebagaimana penulisan ini (baik dari sisi
penghormatan dan pemajuan nilai-nilai HAM, maupun penyelesaian terhadap
kasus-kasus pelanggaran HAM yang sudah terjadi lebih dapat ditanggulangi dan
dikondisikan secara lebih profesional dan proporsional lagi, baik dalam aspek penanganan
dalam arti pencegahan maupun dalam penindakannya ke depan.
I.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Artikel
dalam Koran
Abd. Rohim Ghazali, Manusia, Kekerasan dan Fungsi Agama.
Opini. Kompas 04 November 2002, hlm. 6.
Harian Kompas, “Tragedi Semanggi: Pemerintah Punya Waktu
Setahun”, Politik & Hukum, hal.
3.
·
Buku
Boy Nurdin. 2012. Kedudukan dan Fungsi Hakim dalam Penegakan
Hukum di Indonesia, Bandung: PT Alumni.
Darji
Darmodiharjo & Shidarta. 1999. Pokok-Pokok
Filsafat Hukum. Edisi Revisi, Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Romli
Atmasasmita.
2004. Pengantar Hukum Pidana Internasional Bagian II, Jakarta, PT Hecca Mitra Utama.
·
Artikel
dari Internet
associatesmind.com/.../homo-homini-lupus-est-man-is-a-wolf-to........diunduh pada tanggal 20 September 2013.
BBC Indonesia, “Komnas
HAM umumkan rekomendasi Cebongan”, 19 Juni 2013 - 18:15 WIB.
Diunduh pada tanggal 11 Agustus 2013.
Alumni, 2012), hlm. 2.
hlm. 6.
Diunduh pada tanggal 11 Agustus
2013.
Pustaka Utama, 1999) hlm. 116.
September 2013.
yang harus dihormati raja Inggris. Di dalamnya disebutkan, bahwa raja
tidak boleh bertindak sewenang-
wenang, dan untuk tindakan-tindakan tertentu
raja harus meminta persetujuan para bangsawan.
Walaupun semula hanya terbatas
dalam hubungan antara raja dan bangsawan, namun kemudian terus
berkembang pesat.
Utama, 2004) hlm. 11.
Prinsip-prinsip yang bersifat spesifik ini
meliputi 7 (tujuh) prinsip yaitu: 1. prinsip komplementaritas
(complementarity principle); 2. prinsip non-impunity (tanpa kekebalan); 3.
prinsip admissibility; 4.
prinsip neb is in idem yang bersifat limitative;
5. prinsip kerjasama internasional (international
cooperation principle); 6.
prinsip non-capital punishment; dan
7. prinsip imunitas Majelis Hakim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar