Tentang Ilmu


Allah ta’ala berfirman di dalam Al Qur`an surat Al ‘Alaq ayat 1 sampai 5
:


اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (5

Artinya:(1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan. (2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3) Bacalah, dan Tuhanmu adalah Maha Pemurah. (4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (alat tulis) (5) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis". Maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q.S. Al Mujaadilah: 11)

Sabda Rasulullah SAW: "Tiadalah suatu kebahagiaan bagi orang yang keluar dari rumahnya untuk menuntut ilmu, selain Allah SWT akan memudahkan jalannya ke surga."


Rabu, 17 Juli 2013

QUO VADIS PARADIGMA HUKUM DALAM PENEGAKANNYA DI MASYARAKAT



Oleh : DR. H. BOY NURDIN, S.H., M.H.
Dosen Pascasarjana Magister Ilmu Hukum
Universitas Bhayangkara Jakarta

Disampaikan pada acara Penyuluhan dan Pengabdian Masyarakat
Diselenggarakan oleh Universitas Bhayangkara Jakarta Raya
Kampus 2 Bekasi
   Hari/Tgl : Kamis, 4 Juli 2013

___________________________________________________________________

A. HUKUM DAN MASYARAKAT
Hukum dan masyarakat adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, sebagaimana dikatakan oleh ahli hukum bangsa Romawi Marcus Tillius Cicero (106-43 SM), bahwa di mana ada masyarakat di situ ada hukum, Ubi societas ibi ius.[1]  Bahkan dalam mahzab sejarah dikatakan bahwa hukum tidak diciptakan, tetapi tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat setempat. Tokoh mahzab sejarah Carl Friedrich von Savigny (1770-1861) mengungkapkan Law is an expressions of the common consciousness or spirit of people(hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh berkembang bersama masyarakat).[2]

Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dari waktu ke waktu tidak ada yang tidak berubah, baik hukum maupun masyarakatnya. Dalam dunia filsafat dikenal istilah “being” yang berarti sesuatu yang tetap, dan “becoming” sesuatu yang senantiasa dalam perubahan.[3] Sesuai kodratnya, segala sesuatu yang hidup atau menyangkut kehidupan akan senantiasa berubah dan tidak ada yang tetap. Secara lebih singkat kenyataan ini diungkapkan dengan menyebut hanya satu yang tetap (being) yaitu perubahan (becoming).

Secara prinsip yang harus kita pegang dan diingat adalah:
1.  Hukum diciptakan untuk manusia (semua peraturan hukum diciptakan untuk manusia).
2.  Fiat justitia roeat coelum (yang benar adalah “keadilan harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh”).
3.  Equality before the law (siapapun harus diberlakukan sama di hadapan hukum).
4.  Tujuan hukum/penegakan hukum adalah keadilan (justice) yang merupakan tujuan yang utama dan harus dinomorsatukan, disamping kepastian (certainty) dan kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya orang (great be happiness).

Persoalannya sekarang adalah “bagaimana cara kita mengetahui bahwa suatu hukum/peraturan hukum itu sudah ditegakkan dengan benar ataukah masih salah/keliru?”


B. UNSUR-UNSUR DALAM PENEGAKAN HUKUM
Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut sebelumnya haruslah kita ketahui terlebih dahulu bahwa ketika kita bicara hukum dan penegakan hukum, paling tidak kita sudah berbicara tentang 3 (tiga) hal, karena hukum dan penegakan hukum tidak pernah terlepas dari 3 (tiga) unsur yaitu:

1.  Substansi hukum/materi hukum, yaitu bagaimana muatan materi dari suatu undang-undang atau sebuah peraturan hukum yang dimaksud;

2.  Struktur hukum, yaitu law enforcementnya (aparatur penegak hukumnya, yaitu polisi, jaksa, hakim maupun pengacara), lembaga-lembaga peradilan, termasuk para birokratnya dan lain-lain yang terkait.

3.  Budaya hukum (budaya hukum masyarakat), yaitu bagaimana kebiasaan-kebiasaan, cara pandang/pemahaman masyarakat dalam arti luas terhadap sebuah peraturan hukum yang ada.


C. HUKUM UNTUK KEADILAN
Sebagai anggota masyarakat, atau bagian dari masyarakat hukum, lantas bagaimana tolak ukur kita untuk mengetahui, pertama “kapan sebuah penegakan hukum itu dianggap sudah tepat ?” Dan kedua, “kapan sebuah penegakan hukum itu dianggap salah atau keliru ?”

Secara sederhana dapat dilihat apakah penegakan hukum yang dilakukan tersebut sudah mencapai tujuan dari hukum, yaitu yang utamanya adalah “keadilan” (kemudian diikuti kepastian dan kemanfaatan). Sebagai indikatornya biasanya masyarakat sudah merasa nyaman, damai, tertib dan tidak terjadi lagi keributan. Apabila ini terjadi maka berarti hukum itu sudah ditegakkan secara benar/tepat, namun bila yang terjadi adalah di dalam penegakan hukum tersebut tidak berhasil mencapi tujuan hukum yang namanya “keadilan”, maka penegakan hukum itu sudah dapat dikatakan salah atau keliru.

Persoalan cukup mendasar terkait dengan acara pengabdian masyarakat hari ini sesuai dengan tema adalah sejauh mana pemahaman kita semua sebagai anggota masyarakat maupun sebagai bagian dari masyarakat hukum, baik sebagai aparatur negara/pemerintahan terhadap hukum itu sendiri (berbagai peraturan hukum yang ada di masyarakat). Hukum dalam penegakannya di masyarakat yang banyak terjadi adalah penerapan dari sebuah peraturan hukum terhadap masyarakat, baik yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum maupun yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan/penyelenggara negara, termasuk pemerintahan yang terdepan dan berhadapan langsung dengan masyarakat (lurah dan staffnya). Kemudian yang tidak kalah pentingnya lagi adalah memahami dengan baik bahwa hukum itu sebagai sebuah alat untuk mencapai tujuan hukum yang namanya “keadilan”.

Demikian juga halnya dengan aparatur penegak hukum kita, aparatur pemerintahan/para birokrat yang merupakan bagian dari penyelenggara negara yang tidak pernah terlepaskan dari aturan hukum ketika melaksanakan peran, fungsi, tugas dan tanggungjawabnya di masyarakat terkait dengan pekerjaannya, haruslah benar-benar mengerti dan memahami yang sedalam-dalamnya bahwa hukum hanyalah sebagai alat (law is a tool) untuk mencapai tujuan hukum yang namanya “keadilan” tadi. Jadi kalau ingin menerapkan sebuah undang-undang atau sebuah peraturan hukum misalnya dalam sebuah penegakan hukum, maupun terkait dengan fungsi-fungsi pelayanan di masyarakat, janganlah hanya berpatokan kepada bagaimana bunyi kalimat yang tertera di dalam sebuah undang-undangnya saja (peraturan hukum tersebut saja), karena peraturan hukum haruslah dibaca tidak hanya tersurat saja tetapi lebih jauh lagi haruslah secara tersirat, atau dengan kata lain menerapkan sebuah peraturan hukum dengan baik, haruslah mengkaji unsur-unsur historisnya, filosofisnya maupun sosiologisnya di dalam penerapannya, sehingga peraturan hukum tersebut berlaku seperti apa yang disebut dengan sociological jurisprudence atau hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan masyarakat setempat.


D. PENGETAHUAN/THEORIA ADALAH KEBAJIKAN
Untuk dapat lebih memahami hukum dan penegakan hukum secara baik, termasuk di dalam melaksanakan sebuah peraturan hukum di dalam masyarakat, maka sebaiknya semua elemen yang ada di masyarakat, baik aparatur penegak hukumnya, aparatur pemerintahannya maupun masyarakatnya sendiri secara umum sebaiknya berusaha meningkatkan pengetahuan dan wawasannya melalui pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya. Berusaha menguasai keilmuan semaksimal mungkin, baik dari sisi knowledge maupun science, agar menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.

Terkait hal ini ada teori yang menarik dari Socrates (470-399 SM) “kebijakan/kebajikan adalah pengetahuan/theoria” yang kemudian dikembangkan oleh muridnya Plato menjadi teori yang amat terkenal dengan nama “teori Platonik”. Jika ilmu pengetahuan/theoria sama dengan kebajikan, hanya orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan sejati yang tahu apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang pantas dan apa yang tidak pantas untuk dilakukan di masyarakat. Ilmu pengetahuan sejati tidak didapat begitu saja, tentu harus melalui pendidikan dalam arti seluas-luasnya, maupun pelatihan yang memadai di tempat yang benar.




Kata “kebajikan” secara umum digunakan dalam filsafat politik dalam maknanya yang luas untuk menunjukkan kebaikan moral sekaligus intelektual. Plato membagi kebajikan menjadi 4 (empat) unsur yang pokok: bijaksana, tegas, sederhana, dan adil.  Orang yang bijak adalah orang yang mengetahui, sementara orang yang berdosa adalah orang yang bodoh. Pengetahuan yang benar akan membimbing pada tindakan yang benar, sementara perbuatan jahat adalah akibat dari wawasan yang kurang baik. Oleh sebab itu, adalah wajib untuk mengajar manusia agar mengerti dan memahami agungnya kebenaran hidup, sehingga dengan mengetahui kebenaran itu, maka manusia dapat berbuat bijak. Dengan demikian akan dapat memperbaiki kerusakan di masyarakat.[4] Melatih pikiran secara seksama dan disiplin sangat perlu jika tujuan ini akan dicapai. 

Teori Platonik beranggapan bahwa sangat bodoh dan tak bermakna untuk menempatkan individu yang inferior dalam posisi kepercayaan publik sementara dia tidak cakap secara alamiah juga tidak terlatih. Plato berpandangan bahwa tindakan tersebut secara tak nyaman akan mempengaruhi kesejahteraan orang-orang yang inferior dengan menghilangkannya dari bimbingan dan pikiran superior.

E.  KESIMPULAN
1.  Penegakan hukum yang tepat, adalah:
Undang-Undang/Peraturan Hukum + Hati Nurani = Keadilan

2.  Kebajikan/kebijakan adalah theoria/pengetahuan, maka orang yang mengetahui harus diberi peran yang menentukan dalam urusan publik, bahwa sangat bodoh dan tak bermakna untuk menempatkan individu yang inferior dalam posisi kepercayaan publik sementara dia tidak cakap secara alamiah juga tidak terlatih.

3.  Para aparatur negara dan aparatur penegak hukum harus memiliki ilmu pengetahuan sejati, melalui pendidikan dan pelatihan yang memadai di samping bakat alamiah tiap individu.

4. Pendidikan dan Pelatihan bagi Aparatur Negara dan Aparatur Pemerintahan, seharusnya :
    a. IQ (Intellectual quotient) : - Pendidikan Hukum dan Politik
                                               - Pemahaman tentang Ketatanegaraan
                                               - Pengetahuan Ekonomi dan Budaya
                                               - dll 

    b EQ (Emotional quotient) : - Kemampuan membaca situasi dan kondisi
                                              - Mencari solusi dan memutuskan secara tepat 

   c. SQ (Spritual quotient) : - Kemampuan memahami ilmu agama secara baik dan benar (seperti 
                                             permahaman tentang tafsir kitab suci, dll)
                                           - Keyakinan pada Sang Khalik yang lebih berkuasa memang benar-benar ada,
                                             dan lain-lain yang sifatnya terkait keimanan.
         
                                     




[1]   Johnny Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia, 2005), hlm. 1.
[2]   Boy Nurdin, bahan mata kuliah Filsafat Hukum Pascasarjana Magister Ilmu Hukum “Tokoh-tokoh Penting  
         Filsafat: Sejarah dan Inti Pemikiran”.
[3]   Bagir Manan, “Peranan Hakim Dalam Reformasi Hukum” (makalah yang dibawakan dalam kuliah umum 
         sebagai   pembukaan tahun akademik 2001/2002, Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas 
         Tarumanagara  Jakarta, 7 September 2001), hlm. 1.
[4]   Boy Nurdin, Kedudukan dan Fungsi Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia (Bandung: Alumni, 2012), 
         hlm. 73.